Romansa masa lalu dusun Busu, pedesaan nan Agraris.

https://www.kampungadat.com/2024/06/romansa-masa-lalu-dusun-busu-pedesaan.html
Membajak Sawah dengan teknologi tradisional "Brujul" masih dilakukan
warga Busu dalam merawat bumi.

Aliran air sungai bening mengalir di celah bebatuan yang hitam mengkilap dan berbinar terkena cahaya matahari. Dasar sungai penuh batuan vulkanik terlihat jelas di riak bening air. Uap air nan keputihan menambah dinginnya udara pagi hari, memperindah gemericik aliran sungai itu. Kokok ayam bersahutan mengiringi aktivitas pagi disuatu desa lereng perbukitan Bromo. Beberapa warganya mulai menyusuri setapak menuju kali, mandi dan mencuci menjadi tradisi yang elok di pagi dan sore hari dialiran air dari mata air Ripi dan Ipik ini.


Beberapa orang laki-laki dewasa berduyun-duyun membawa Gumbeng kosong menuju ke kali Rasid dan kali Wedok. Jernih air dan senyum tarian ekor ikan-ikan di kali menyambut mereka dengan doa. Sementara laki-laki yang kecil ikut menimba dan mengambil air di aliran kali dengan Cukil. Sapaan dan obrolan pagi mengalir dimulut mereka yang menambah suasana damai di pinggiran kali yang jernih itu. Kepulan asap menyeringai dari sela mulut mereka, seakan asap rokok yang kemebul. 


Nyanyian burung di sela-sela dedaunan pohon dan rimbunya barongan bambu seakan menghantar sebuah lagu selamat datang pagi hari. Kepulan-kepulan kecil asap dapur mulai menghiasi beberapa rumah warga, menandakan aktivitas di pawon sudah berjalan. Hembusan angin dari persawahan Beranan dan Gogolan yang ada di sekitar kampung ini menyibak kepulan asap hilang terserap pepohonan mahoni yang gagah berdiri di sekitaran kampung.


Gentong-gentong air mulai penuh seiring laki-laki desa itu pulang dari kali, suara gemericik dan benturan air dari Gumbeng atau Cukil kedalam wadah Gentong menambah sahdu lagu kehidupan masyarakat desa di pagi hari. Tegukan-tegukan air melepas dahaga tenggorokan dari kendi-kendi yang mengkilap karena berumur. Aroma dan rasa air yang begitu nikmat melebihi air kemasan berteknologi tinggi buatan pabrik. Air murni yang diolah dengan kasih sayang dan penuh doa.


Bocah-bocah terlihat riang didepan tungku api dapur rumahnya, menggoda sang ibu yang berjibaku dengan tiupan angin mulut menyulut bara kayu bakar di pawon. Sabit, cangkul dan peralatan tani di pojokan rumah telah berpindah ke tangan-tangan kekar kaum bapak. Sambutan sinar pagi menerpa kilap dan cipratan langkah kaki petani di petak-petak sawah yang subur.


https://www.kampungadat.com/2024/06/romansa-masa-lalu-dusun-busu-pedesaan.html
Kembul Bejana, setelah "derep" dalam proses Panen Pari (Padi) menjadi kearifan masyarakat dalam berbagi. 

Budaya dan teknologi tradisional leluhur masih terjaga, pengetahuan tentang alam, tentang kehidupan norma-norma adat, dan agama menjadi nadir kehidupan kampung yang sederhana.  Masyarakat petani keren ini memegang teguh aturan-aturan serta ilmu dalam menanam benih-benih padi di sawahnya. Dengan kasih sayang dan iktiar doa, sawah-sawah organic terjaga, dan selalu memetik hasil yang melimpah. Mereka tidak mengenal pupuk kimia, mereka hanya kenal bagaiman mengolah dedaunan dan kotoran ternak menjadi humus dan penyubur tanah penghidupannya.


Petani desa ini hanya mengenal tiga musim dalam mengolah sawah pertanian, Tracap, Warengan, dan asuh bumi. Dengan memegang norma adat ini mereka melimpah dalam hasil tanam. Tradisi rasa syukur tiap kali beraktifitas menjadi tontonan keberkahan untuk warga dan anak-anak kecil. Tasyakuran memulai masa tanam, lantunan doa doa mengiringi ucok bakal dan sesandingan dipojok sawah, anak-anak dan petani bungah dengan nasi dalam takir-takir digenggaman. Konsep berbagi dan sodakoh dibalut rasa sukur atas panen yang bagus di musim yang sudah.


Setelah benih padi mulai tumbuh, lantunan doa syukur kembali menghiasi kalbu petani, tasyakuran dan sodakoh kembali mereka haturkan dalam laku Mbuntoni. Sandingan, Cok Bakal ditambah Gedang Sri mereka hidangkan dalam lingkaran kecil petani dan anak-anak di pojok sawah yang subur. Kembali kebahagiaan terlihat di pagi hari seiring kilau keemasan mentari menggoda embun di benih-benih padi yang mulai membesar.


Puncak tasyakuran dua bulan kemudian, adalah yang ditunggu-tunggu, Wiwit sebuah tasyakuran sebelum padi-padi disawah di Unting dan masuk kerumah-rumah petani. Tapakan riang anak-anak kecil mengiringi bapak-bapak menuju persawahan yang menunduk kuning keemasan dengan membawa Cok Bakal, Pitik Engkong, Kupat Lepet, Polo Pendem, dan ranumnya 2 cengkeh Gedang Ayu. Siratan kegembiraan di wajah bocah dan petani menuju sawah.


Masyarakat pertanian selalu menguggemi tradisi budaya ini, sebagai bentuk syukur dan berterimakasih pada Syang Maha Welas Asih serta bentuk berterimakasih pada Ibu Bumi. Tidak ada rasa serakah pada diri petani, tidak berlaku memperkosa tanah dengan kimia. Kearifan sebagai manusia dan mahluk yang penuh welas asih pada semua mahluk.


https://www.kampungadat.com/2024/06/romansa-masa-lalu-dusun-busu-pedesaan.html
Mbah Ngatemin beranjak dari Kali Lanang, dusun Busu, Desa Slamparejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang setelah membersihkan badan, selepas menggarap sawah.

Kini, ditahun milenial, munculnya teknologi barat yang merampas dan menggantikan teknologi tradisi, budaya dan tradisi serta ageman Agama tercabik hancur. Ponsel dalam genggaman menggantikan teknologi batin yang murah dan manjur, kearifan merawat tanah berganti derungan mesin memperkosa ibu bumi, desa-desa adat dengan keramahan norma kehidupan semakin gersang seiring hilangnya pepohonan dan hutan sekitar desa.

Aliran air semakin keruh, limbah limbah menjadi racun mematikan penghuni aliran air di kali-kali. Bau amis dan busuk uap airnya menjadi sapaan pagi masyarakat dan mahluk didesa. 


Mengalir masuk petak-petak sawah menjadi meracuni benih-benih padi yang tak lagi sehat dan subur. Tanah-tanah tak berhumus, hitamnya penuh dengan kimiawi hasil teknologi pabrik. Sapaan dan candaan petani semakin kosong, dan getir karena situasi, hasil panen tak lagi mencukupi dan menghidupi. Satronan tengkulak dan penagih hutang menghiasi bibir dan doa para petani desa.



#petanikeren #Adatistiadat #senitradisi#normaadat  #budaya #Silaturahmi #pemajuankebudayaan #OPK 


0 Comments:

Posting Komentar