Rumah merupakan
tempat berlindung
dari panas dan hujan bagi
manusia. Selain untuk tempat
beristirahat serta berlindung dari cuaca, Rumah oleh manusia juga biasa di
gunakan sebagai fungsi sosial, juga sebagai bagian tidak terpisahkan perjalanan
hidup manusia yang menempatinya. Rumah bagi masyarakat terutama masyarakat
Jawa, mempunyai fungsi yang lebih luas dan menjadi satu tempat sarana menggapai
kedamaian.
Rumah merupakan kebutuhan utama mahluk hidup, kebutuhan
primer. Dan didalam masyarakat jawa ada
aturannya ketika ingin mendirikan sebuah rumah. Aturan ini telah turun temurun
diwariskan dari lisan oleh para leluhurnya. Begitu pentingnya sebuah rumah
untuk keberlanjutan kehidupan manusia, oleh karena itu dalam membuat rumah
tidak asal, ada tata laku yang dari dahulu terus dilakukan oleh sebagaian
masyarakat.
Dari
awal rencana membangun rumah, tradisi yang berkembang di masyarakat yaitu melaksanakan tradisi leluhur diawali mencari hari baik untuk dimulainya
membangun sebuah rumah. Bukan hanya itu, setelah hari baik didapatkan masyarakat
dalam mengumpulkan bahan kayu ataupun bamboo juga harus berdasar ketentuan hari
baik.
Harapan dari
ketentuan yang
ada dalam tradisi membangun rumah ini tak lain adalah salah satu usaha untuk
mencapai keberkahan dan kebaikan selama
proses pembuatan hingga nanti rumah telah dihuni dan digunakan. Diantara tradisi yang ada dalam proses membangun
rumah yaitu dimulai dari mencari hari baik, selamatan
mendirikan pondasi pertama, menaikan blandar, dan tradisi ketika rumah telah
selesai dibangun dan pertama akan ditempati.
Tradisi dan Kearifan
ini sangat sarat makna,
dan mempunyai filosofi hingga pengharapan serta doa doa
kebaikan dari tiap ritualnya. Selain doa doa masyarakat jawa juga biasa
menghadirkan bermacam bentuk cawisan atau sesaji yang intinya sebagai
pengingat dan rasa syukur kepada tuhan yang maha esa.
A. Hari
Baik
Tradisi awal sebelum membangun rumah, masyarakat bisanya
menyiapkan atau mencari hari kapan rumah akan didirikan. Tidak sulit untuk
mencari hari baik ini, biasanya masyarakat mempercayakan kepada orang yang
telah mengerti dan tahu hitungan jawa. Mereka tinggal minta tolong dihitungkan
dan dicarikan hari baik mendirikan rumah.
Ada pola dalam mencari hari baik berdasarkan hitungan hari
serta pasaran dalam penanggalan Jawa. Biasanya perhitungannya adalah,
jumlah neptu dikurangi kelipatan lima. Misal rumah akan
didirikan Minggu Pon maka jumlah nilai hari dan neptunya = 7 + 5 = 12.
Dikurangi 5 sisa 7 dan dikurangi 5 lagi sisa 2 yang dinamakan Yasa atau
akan mendapatkan kejayaan buat penghuninya. Untuk mempermudah pemahaman,
berikut saya cantumkan neptu dan pasaran yang biasa digunakan dalam masyarakat.
Neptu dan pasaran hari:
Senin 4, Selasa 3, Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6, sabtu 9, Minggu
5 dan pasaran hari Kliwon 8, Legi 5, Pahing 9, Pon 7, Wage 4.
Setelah jumlah neptu dan pasaran ditemukan maka tinggal
membaginya seperti hitungan diatas yang nanti akan didapati hasil seperti
berikut:
1.
Dinamakan Kerta yang mempunyai arti
akan mendapat kekayaan.
2.
Dinamakan Yasa artinya mendapat kejayaan.
3.
Dinamakan Candi artinya mendapatkan
keberuntungan.
4.
Dinamakan Rogoh artinya nantinya
akan sering kemasukan Maling.
5.
Dinamakan Sempoyong artinya nantinya
akan sering berpindah-pindah rumah.
B. Mendirikan Pondasi
Inilah awal dimulainya mendirikan bangunan rumah, dan pondasi pertama yang dipasang dalam tradisi masyarakat jawa selalu diawali dengan selamatan. Biasanya selamatan ini secara sederhana yang dihadiri oleh tuan rumah dan beberapa tetangga serta tukang yang akan mengerjakan pembangunan rumah tersebut. Biasanya selamatan yang dilaksanakan awal buka dan pasang pondasi ini adalah selamatan jenang sengkolo.
Jenang Sengkolo atau jenang merah
putih ini mempunyai arti keselamatan, dan dijauhkan dari “sengkolo” bahaya.
Bisa dimaknai bila selamatan dalam membuka dan memasang pondasi dengan
selamatan jenang sengkolo ini adalah harapan dimudahkan dan dijauhkan dari
bahaya selama proses pembangunan rumah.
C. Menaikan Blandar (kuda-kuda)
Setelah
bangunan rumah berjalan dan hampir selesai, tahab paling penting adalah
menaikan Blandar (kuda-kuda) penopang usuk genting. Tahap ini biasa dilakukan saat proses pembuatan rumah sudah setengah jadi dengan bangunan tembok
yang hampir seluruhnya selesai, tinggal kuda-kuda ini. Sebelum belandar
dinaikan, selamatan kembali dilaksanakan. Tradisi ini dikenal dengan selamatan
munggah Blandar, berbagai ubo rampe pun disiapkan, yaitu kelapa, seikat padi,
pisang satu tundung, bendera merah putih, dan gandok berisikan beras.
Setelah
didoakan oleh tetua atau sesepuh yang dimandati untuk mendoakan, maka segala
macam ubo rampe ini turut dinaikan ke atas bersamaan dengan belandar dengan
cara diikat diBelandar. Terletak di tengah belandar dimana tiap sambungan kayu
belandar menyatu, disitu ubo rampe tadi diikatkan. Biasanya, hingga rumah sudah
jadi seluruhnya uborampe yang masih tertinggal adalah gandok dan padi yang
seikat. Adapun makna tiap ubo rampe yang disertakan dalam selamatan munggah
blandar itu adalah sebagai berikut.
a.
Padi
yang diikat
Menggambarkan suatu sumber
kekuatan dan kehidupan, maka padi dalam upacara ini dimaknai sebagai doa atau
harapan nantinya penghuni rumah selalu diberi kekuatan dan kehidupan yang
damai, sejahtera.
b.
Gendok
dan berisi beras
Gendok yang merupakan
wadah beras, dimaknai bahwa rumah yang dibuat ini akan selalu dapat
mensejahterakan penghuninya, atau tidak sampai kekurangan pangan dan selalu
dalam kemakmuran.
c.
Pisang
Pisang yang dalam
bahasa jawanya yaitu Gedang mempunyai makna Padang (bahasa Indonesia-Terang),
maka pisang dalam upacara munggah blandar ini dimaknai satu pengharapan
nantinya membawa suasana terang bagi penghuninya (tidak singup).
d.
Kelapa
Biasanya kelapa yang
digunakan adalah kelapa Cengkir kuning, yang mempunyai makna kuning sebagai
keceriaan. Oleh sebab itu, kelapa disini mempunyai perlambang bahwa nantinya
ketika rumah telah digunakan, penghuninya dalam keadaan ceria atau bahagia
selalu.
e.
Tebu
Tebu sendiri adalah
tanaman yang menggandung air yang manis, maka gambaran dari tebu dalam upacara
ini tak lain adalah nantinya diharapkan rumah baru ini membawa kebahagiaan dan
kemanisan penghuninya, yang juga bisa dimaknai permohonan kebahagian dalam
menempati rumah baru ini.
f.
Kain
warna merah dan putih.
Biasaya kain ini
dikibarkan ataupun terkadang ada yang diikatkan langsung pada kayu blandar.
Makna dari kain dua warna ini adalah sebagai penolak balak, dan ada yang
mengartikan sebagai penyeimbang antara baik dan buruk. Dan harapanya nantinya
rumah baru ini selalu bisa memberikan kedamaian bagi penghuninya.
D. Upacara Masuk Rumah
Setelah pembangunan rumah finis dan selesai, maka biasanya masyarakat akan melakukan tradisi masuk rumah. Tradisi ini masih terlihat,namun, ada kalanya dipersingkat, dalam arti ada beberapa ritual yang ditiadakan. Salah satunya adalah ritual sapu halaman, yaitu pertama akan memasuki rumah baru, calon penghuni bersama keluarganya membawa sapu lidi akan menyapu halaman rumah. Adapun makna dari sapu lidi ini adalah membuang atau menyingkirkan sebagala bala aatu keburukan disekitar rumah. Prosesi masuk rumah memang ada beberapa alat atau pelengkap, antara lain bantal, Guling, tikar (kloso), siwur dan Pendaringan (wadah beras).
Namun,
sebelum prosesi memasuki rumah ini, biasanya calon penghuni rumah akan memilih
hari baik, dan ini biasanya ditanyakan pada sepuh atau modin yang mengerti
hitungan hari baik. Setelah hari baik ketemu, tidak lupa waktu juga ditentukan,
semisal senin siang sebelum lohor (tengah hari) harus masuk rumah. Dan juga ada
ketentuan masuk rumah dari arah mata angin tertentu yang mana sudah ditentukan
saat ditetapkan hari baik tersebut.
Dari semua prosesi dan alat yang dibawa ketika masuk rumah tersebut semata sebagai harapan kebaikan dan kelancaran tidak ada halangan nantinya ketika telah digunakan rumah baru tersebut. Bantal dan tikar dimaknai bila nantinya sang penghuni akan kerasan dan nyaman kala menempati rumah. Siwur yang mana alat mengambil air dan Pendaringan (tempat Beras) penggambaran nantinya diharapkan keluarga tidak kekurangan penghidupan.
0 Comments:
Posting Komentar