Sejarah Desa Sidorejo tidak bisa dilepaskan dari kisah panjang perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda. Awal mula berdirinya desa ini berhubungan erat dengan Perang Diponegoro (1825–1830), salah satu perang terbesar di Pulau Jawa yang melibatkan seluruh rakyat pribumi melawan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jenderal De Kock. Perang yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro ini membuat Belanda harus menghadapi perlawanan sengit selama lima tahun, hingga akhirnya Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Makassar pada tahun 1830.
Pelarian Pasukan Diponegoro ke Malang
Setelah Perang Jawa berakhir, sisa pasukan Diponegoro menyebar ke berbagai daerah. Salah satu kelompok yang dipimpin oleh Ki Ageng Sentono bergerak ke arah timur melalui Kadipaten Balitar, Gunung Kawi, hingga Kadipaten Malang. Dari Singosari mereka menuju Sengguruh, lalu ke Brang Wetan, karena Malang dianggap tidak aman. Pada Senin Pon, 6 Agustus 1832, rombongan sampai di sebuah tepi sungai berair jernih. Tempat ini kemudian dinamakan Dumpul, karena sering dijadikan pusat berkumpul dan menyusun strategi perang. Dumpul bahkan tercatat hingga tahun 2000 masih terkait dengan tanah milik pejuang kemerdekaan Brigade Imam Utomo.
Asal Usul Nama Melo’an, Glongsor, dan Konang
Perjalanan pasukan Ki Ageng Sentono berlanjut ke sebuah daerah teduh di bawah pohon beringin besar. Karena kebaikan dan sikap arif Ki Ageng Sentono, masyarakat menamai daerah itu Melo’an (dari kata Jawa melok-melok yang berarti ikut).
Namun, Belanda kembali melakukan penyerangan. Ki Ageng Sentono dan pasukannya terpaksa mundur ke hutan penuh pohon waru. Di tempat itu, mereka melakukan ibadah sholat Ashar. Gerakan sujud yang asing bagi penduduk setempat (yang kala itu masih menganut Animisme dan Hindu Kuno) disebut ndlosor. Dari situlah muncul nama Glongsor, yang kemudian melekat sebagai nama daerah tersebut.
Tidak berhenti di sana, rombongan melanjutkan perjalanan ke utara dan tiba di daerah yang kini dikenal sebagai Dusun Konang. Nama Konang diambil dari hewan kunang-kunang yang banyak dijumpai di sana. Masyarakat mengibaratkan Ki Ageng Sentono seperti kunang-kunang yang selalu memberi cahaya bagi orang-orang di sekitarnya.
Lahirnya Desa Sidorejo
Seiring berjalannya waktu, daerah yang awalnya sepi mulai ramai dan berkembang. Dalam bahasa Jawa, kondisi ini disebut “Rejo” yang berarti ramai atau makmur. Pada masa pemerintahan Adipati Raden Ario Notodiningrat II, tepatnya pada Senin Wage, 11 Juli 1842, wilayah tersebut resmi diberi nama Desa Sidorejo.
0 Comments:
Posting Komentar