Oleh : Pak Icroel
Ketua GBLN (Gubuk Baca Lentera Negeri)
Dusun Busu atau orang-orang di wilayah kecamatan Jabung lebih akrab menyebutnya dengan Mbusu, terletak di wilayah kecamatan Jabung dan masuk dalam bagian Desa Slampar.
Dusun Busu terdiri dari kurang lebih 450 KK, dan termasuk dalam kategori perbukitan sehingga masih dingin hawanya.
Menurut cerita atau sejarah yang ada, dusun Busu sendiri itu lebih dulu ada ketimbang Desa Slampar. Berawal dari adanya sesepuh yang dulu babat alas di SAWAH MALANGAN yang ada di desa Argosari. Beliau berjuluk MBAH SUROPATI, dan warga kala itu menyebutnya MBAH GUDHE atau MBAH GEDHE. Mungkin di karenakan perawakan Beliau yang tinggi besar.
Berdasarkan cerita awalnya babat di sawah malangan tapi tidak lama, dan pindah ke tanah BUCU, bucu adalah sebutan lain dari pojok atau sudut. Mulailah Mbah Gudhe babat alas lagi di Bucu. Konon menurut cerita tempat itu banyak sekali ASU (Anjing)nya sehingga kemudian orang menyebutnya menjadi BUSU atau TEMBUSE ASU.
Banyak juga yang menamakan Busu karena konon Busu adalah jalan tembus atau pintas bagi orang yang terburu buru atau kesusu susu,sehingga Busu adalah Dalan Tembuse wong sing kesusu.
Dan sekarang sejalan dengan perkembangan jaman nama Busu sendiri di artikan dengan TEMBUSE SUSU.Tapi tak salah juga karena saat ini Busu adalah salah satu tempat penghasil susu sapi perah di wilayah kecamatan Jabung.
Di Busu ada sebuah tempat yang bagus dan indah yang di beri sebutan BUKIT CINO.
Belum sempat menggali cerita mengapa di sebut dengan bukit cino. Tapi yang pasti tempat ini asik, berada di bukit tertinggi di Busu. Bila di sana maka kita akan bisa melihat Dusun dan desa sekitar dengan jelas. Kalau malam akan lebih bagus lagi. Bisa menjadi salah satu tujuan bila ingin bersantai, asal tetap menjaga kebersihan dengan tidak meninggalkan sampah.
Nah di Busu ada sebuah kampung kecil, kami menyebutnya KAMPUNG TRETEG. Mungkin karena pintu masuk atau akses masuk ke kampung itu harus melewati TRETEG atau jembatan yang terbuat dari bambu.Kampung ini ada Kurang lebih 36 rumah atau KK. Ada beberapa tradisi lawas yang masih dipertahankan oleh warganya. Dan itu yang menarik dari kampung ini. Di samping GUYUB RUKUN warganya yang masih sangat terjaga dengan baik.
Tanggal 15 juli 2017 malam nanti mereka akan punya hajat asik.. yaitu halal bi halal yang di konsep menjadi kampung adat atau tradisi.
Yang Luar biasa adalah semua warga kampung ini semua turut andil dalam mengonsep Acara ini, baik bapak-bapak, ibu-ibu, yang tua, yang muda bahkan anak-anak.
Tradisi tradisi yang ada akan di tunjukan dalam acara tersebut.
Tradisi tradisi seperti apa itu?? Tunggu tanggal mainnya..
Dan salah satu yang menggembirakan adalah di kampung itu ada Taman Baca untuk adik-adik, di beri nama PUSTAKA KAMPUNG TRETEG.Dan akan di resmikan pada acara tgl 15 tersebut..
# Sedikit hasil ngobrol ngalor ngidul ngulon ngetan bersama warga Busu,ki Abit X Hunter n ki Sapuan Achnaf
....bersambung.....
Dusun Busu #2
GILESAN WATU
Beberapa tradisi atau kebiasaan "lawas" masih di jaga oleh warga KAMPUNG TRETEG dusun Busu. Salah satu warga kampung yang masih melakukan kebiasaan itu adalah MAK NYIK WASIAH, begitu warga memanggilnya. Beliau sampai sekarang masih menggunakan GILESAN WATU atau gilingan batu untuk menghancurkan Bahan bahan makanan, salah satunya adalah jagung. Untuk merubah butiran jagung agar menjadi butiran MENIR atau jagung yang sudah terpecah pecah menjadi lebih kecil. Dan menir ini akan di masak, kemudian jadilah NASI JAGUNG.
Gilesan Watu Mak Nyik Wasiah ini terlihat sudah sangat lawas. Terlihat dari bentuknya. Ada dua bagian Utama pada gilesan, yaitu 2 lempengan Batu tebal berbentuk lingkaran berdiameter sekitar 30 cm. Tebal masing masing batu sekitar 10 sampai 15 cm.
Batu yang bawah seperti menjadi tatakan atau landasan, di tengah batu ada AS kecil yang berfungsi sebagai poros sehingga ketika batu yang atas di putar bisa tetap pada tempatnya.
Batu yang atas di pasang pegangan yang berfungsi untuk pegangan ketika memutar batu. Di tengah ada lubang yang berfungsi untuk tempat memasukan bahan yang akan di giling. Kemudian Hasil gilingan akan keluar lewat sela sela kedua batu.
Sedikit cerita tentang Gilesan Watu ini akan sekilas menggambarkan kebiasaan atau tradisi di Kampung Treteg Busu. Dan Tanggal 15 juli 2017 nanti warga dan Mak Nyik Wasiah akan menaruh Gilesan Watu ini di halaman rumahnya. Anda dan Para sahabat yang hadir bisa mencoba kecanggihan alat ini dan merasakan sensasinya.
Entahlah, melihat Mak Nyik Wasiah yang umurnya jelas sudah sepuh tapi masih sangat gesit, cakcek mungkin salah satunya di karenakan beliau selalu berolah raga..ya salah satunya dengan memutar gilesan watunya.
Dusun Busu #3
NGECROS
NGECROS, demikian para warga menyebutnya. Seperti GILESAN WATU tadi, ngecros juga mempunyai tujuan sama, yaitu memecah bahan bahan seperti jagung, kopi dll menjadi lebih kecil atau lembut.
Hanya yang membedakan adalah alat alat dan caranya. Kalau nggiles menggunakan gilesan watu sebagai alat giling tapi NGECROS menggunakan LUMPANG dan ALU.
Hanya yang membedakan adalah alat alat dan caranya. Kalau nggiles menggunakan gilesan watu sebagai alat giling tapi NGECROS menggunakan LUMPANG dan ALU.
LUMPANG sendiri biasanya terbuat dari BATU atau KAYU. Kebetulan yang ada di KAMPUNG TRETEG adalah lumpang yang terbuat dari batu. Yang kemudian batunya di buat lubang atau cekungan dalam di tengahnya. Kedalaman sekitar 25 cm dengan diameter lingkaran atas sekitar 25 cm juga dan semakin kedalam semakin kecil.
ALU biasanya terbuat dari kayu, tentu kayu yang keras tak mudah pecah. Alu ini berfungsi sebagai penumbuk.
MAK WARTI adalah salah satu ibu di Kampung Treteg yang kemarin mengajarkan bagaimana cara NGECROS.
Dengan jagung sebagai korbannya..hehe. Jagung di taruh secukupnya di lumpang kemudian di tumbuk dengan alu.
Melihat cara menumbuknya sepertinya ada teknik tersendiri. Tak bisa asal ayun dengan tenaga yang tak di atur. Seperti ada irama yang teratur dan tenaga yang stabil. Kalo asal tumbuk bisa bisa jagung malah semburat mencelat sana sini..hehe saya sudah mencoba dan hasilnya jagung tercerai berai ke segala penjuru.
Ada kalanya di tengah menumbuk jagung di beri air sedikit, mungkin bertujuan untuk membantu jagung agar cepat lunak dan mudah d tumbuk.
Saat ini hal atau tradisi Ngecros seperti sudah sangat jarang atau bahkan langka di lakukan. Bisa jadi teknologi telah menyediakan alat yang lebih praktis.
Tapi Kampung Treteg mungkin menjadi salah satu kampung yang masih menjaga tradisi tersebut. Sebuah kekayaan tradisi yang berharga untuk masa sekarang. Tak banyak yang tau bahwa sebelum ada mesin giling atau selep, dulu lumpang dan alu adalah cikal bakalnya dan sangat jaya serta canggih di jamannya.
Tanggal 15 juli besok, tepatnya malam minggu Kedua alat ini akan di keluarkan dari tempatnya. Kita semua bisa belajar NGECROS dari para ibu ibu hebat ini. Seperti tak cukup kita hanya membaca, melihat dan mendengar cerita tentang hal ini. Malam minggu nanti kita bisa melakukannya sendiri, sudah pasti dengan di pandu oleh para ibu ibu yg sudah berpengalaman. Anda boleh betah betahan numbuk..hehe.. kuat mana anda yang muda dengan Emak emak ini.
Bila emak emak ini sudah memegang alu..kelar Hidup lu..haha.
Dan yang menarik lagi kita akan bisa menikmati SEGO JAGUNG dan KOPI hasil dari proses bertemunya alu dan lumpang tadi.
Selamat Pagi, perkenalkan, saya Zai Dzar Al Farisa mahasiswi S2 Arsitektur Lingkungan Binaan Universitas Brawijaya Malang. Saya berminat menjadikan dusun ini sebagai obyek penelitian thesis saya, bolehkah saya meminta kontak yang bisa dihubungi? Terimakasih :)
BalasHapusSelamat pagi juga mbak Zai Dzar Al Farisa. Terimakasih sebelumnya telah berminat dengan dusun kami. Anda dapat menghubungi nomor 08660160777 a/n Pak Wahyu Widodo dan juga Pak Kusnadi 082229224446. Boleh melalui wa atau telfon, semoga membantu.
BalasHapus