Menjelang sore hari, langit Jabung berubah menjadi panggung warna-warni. Terlihat dari kejauhan, layang-layang berterbangan tinggi, bersaing anggun namun garang. Uniknya, banyak dari layang-layang ini diterbangkan bukan hanya dari lapangan, tetapi juga dari loteng rumah, jalan desa, hingga kebun belakang. Warga dengan semangat luar biasa memanfaatkan segala tempat demi menerbangkan layang-layang andalan mereka.
Salah satu pemandangan yang mencuri perhatian adalah kebersamaan antara anak dan ayah dalam membuat, mengatur, hingga menerbangkan layang-layang. Sang ayah biasanya bertugas membuat rangka dan memasang benang gelasan (benang tajam untuk mengadu), sementara sang anak menjadi pilot di lapangan. Momen seperti ini bukan hanya soal permainan, tetapi juga sarana transfer nilai dan tradisi antargenerasi yang makin langka di era modern.
Adu Layangan dan Perburuan Layang Kalah
Permainan ini makin seru karena tidak hanya sekadar menerbangkan, tapi juga mengadu layang-layang satu sama lain—disebut "nyambit" oleh warga lokal. Layangan yang kalah dan putus benangnya akan menjadi incaran anak-anak yang berlarian mengejarnya di antara pematang sawah, pekarangan, atau bahkan hingga ke desa tetangga. Teriakan gembira dan tawa lepas terdengar nyaring, membuktikan bahwa kebahagiaan bisa sesederhana mengejar layangan jatuh.
Simbol Kehidupan Desa yang Dinamis
Fenomena ini mencerminkan betapa hidup di desa sangat menyenangkan dan penuh warna. Kebersamaan, kreativitas, dan semangat kompetisi sehat menjadi bagian dari keseharian yang jarang ditemukan di perkotaan. Layang-layang bukan hanya mainan, tapi juga simbol budaya yang menyatukan.
Jabung tak hanya dikenal sebagai desa penghasil susu dan peternakan, tapi juga sebagai penjaga tradisi langit yang mengakar kuat. Di sini, layang-layang bukan sekadar permainan – ia adalah kenangan, kebanggaan, dan bukti bahwa kebahagiaan bisa terbang tinggi bersama angin sore.
0 Comments:
Posting Komentar